Responsive Ad

KOLEKSI ERRA

Seragam warna biru di tali jemuran itu seakan-akan melambai kepada Erra yang baru pulang dari sekolah. Di sudut teras rumahnya yang sempit, tampak ayahnya yang sedang memilah-milah barang bekas untuk dijual . ya, Ayah Erra memang seorang pemulung.
Sebenarnya Erra tidak malu dengan pekerjaan ayahnya. Namun, pengumuman Bu Tuti di sekolah tadi, membuatnya sedih. Bu Tuti akan membuat pameran koleksi murid pada saat penerimaan rapor.
Erra tidak yakin bias ikut dalam pameran itu. Erra masuk kekamarnya dengan lesu. Ia melamun memikirkan percakapan di kelasnya tadi.”ibu berharap semua murd bias ikut dalam pameran koleksi murid. Tapi jika memang tidak punya benda-benda koleksi, tidak perlu dipaksakan, ”Bu Tuti member pengumuman.
“Wah, akhirnya bisa juga aku membawa koleksi ke sekolah. Uangku habis sekitar satu juta rupiah lho, untukbeli koleksi pernak-pernik katak hijau! ”kata Rana.
“Aku malah sudah tidak sempat menghitung, berapa banyak uang yang aku habiskan untuk beli koleksi boneka cantik! ”kata Suci.
“Ya terserah, deh, kalian mau memamerkan apa,” kata Siti sambil melirik Erra. Tapi kasihan kan, anak yang tidak punya apa-apa. Tidak mungkin memamerkan koleksi barang bekas hasil pulungan!”
Di telinga Erra, ucapan Siti tadi itu, begitu menusuk. Tentu saja Siti memang ingin menyindir Erra di sekolah tadi. Namun Erra pura-pura tidak mendengar ejekannya.
“Erra, ikut Ayah, ya, ke rumah Bu Rosa. Ayah diminta membersihkan gudangnya. Lumayan, katanya ada banyak kertas dan Koran lama yang tidak terpakai. Ayah penuh semangat mengajak Erra. Tanpa banyak kata, Erra mengikuti ajakan Ayahnya.
Di dalam gudang Bu Rosa, mereka bekerja nyaris tanpa kata. Hanya sesekali Ayah memberikan perintah kepada Erra. Tiba-tiba, mata Erra tertuju pada kardus tua di atas lemari. Seolah-olah ada sesuatu yang membuat Erra penasaran.
“Yah, kalau kardus yang itu, boleh kita ambil?” tunjuk Erra.
“Coba kita lihat dulu isinya,” kata Ayah sambil mengangkat kardus itu. Mereka memeriksa isinya. Ternyata hanya tumpukan surat dan kartu pos. Erra mendesah kecewa. Tadinya ia berharap isinya lebih menarik dari itu. Bu Rosa, kan, menyimpannya di tempat yang tinggi. Erra mengira isinya benda yang berharga.
Erra memandangi kartu-kartu pos itu, semakin lama, ia semakin tertarik pada prangko-prangko yang tertempel disetiap kartu dan amplop surat.
“Prangko-prangko ini seperti lukisan-lukisan kecil yang indah. Ada gamabar bunga yang cantik, binatang langka, pakaian daerah, dan masih banyak lagi.” Tiba-tiba Erra mendapat akal.
“Yah, Erra mau Tanya ke Bu Rosadulu, ya. Siapa tahu isi kardus ini boleh kita ambi,”kata Erra penuh semangat. Ayah tersenyum melihatnya.
Bu Rosa sedang membaca majalah di teras depan. Erra menghampirinya.
“Maaf, Bu, apa isi kardus ini boleh Erra ambil?” Tanya Erra dengan sopan. Bu Rosa menurunkan majalahnya dan melihat isi kardus itu.
“Aduh, bagaimana ya, Erra. Ibu masih saying sama surat-surat itu. Semua itu kiriman dari sahabat-sahabat Ibu di luar kota. Bahkan karu-kartu pos itu adalah kiriman paman Ibu, sewaktu ia masih bekerja di kapal pesiar. Setiap singah di suatu Negara, paman Ibu pasti akan mengirimkan kartu pos darinegara tersebut,” jelas Bu Rosa.
Dengan wajah kecewa, Erra mengangguk. Ia melangkah lesu untuk kembali ke gudang. Kardus itu terpaksa harus ia kembalikan ke tempat semula.
“Sebentar, Erra ! kenapa kamu tertarik dengan surat-surat ini?” Tanya bu Rosa heran. Erra menceritakan tentang pameran koleksi di sekolahnya. Ia juga menceritakan ketertarikannya pada prangko-prangko itu.
“Oh…, kalau begitu Erra ambil saja prangko-prangkonya. Tapi surat dan kartu posnya kamu susun rapi lagiya. Maaf,tadi Ibu fikir, Erra akan menjual kartu-kartu itu sebagai kertas bekas,” kata Bu Rosa.
“Terima kasih banyak, Bu Rosa!” seru Erra penuh semangat. Wajahnya menjadi cerah kembali.
Tak lama kemudian, Erra sudah sibuk di gudang. Ia mengambil prangko-prangko itu dengan hati-hati. Ia tak ingin merusak surat dan kartu posyang sangat berharga itu bagi Bu Rosa.
Hari pameran pun tiba. Anak-anak dengan bangga memajang koleksi mereka. Begitu juga Erra. Koleksinya yang kecil-kecil itu tidak perlu memakai tempat yang besar. Ia hanya menempelkan prangko-prangko itu berdasarkan jenis gambar dan tahun. Bahkan ada prangko yang usianya jauh lebih tua dari pada Erra.
Saat memeriksa hasil kerja anak-anak, Bu Yola memuji koleksi Erra. Teman-teman Erra juga kagum melihat koleksi itu. Siti tersenyum kecut melihat keberhasilan Erra.
“Erra, dari mana kamu mendapatkan koleksi yang bagus itu?” Tanya Siti.
“Dari barang-barang hasil pulungan Ayah!” jawab Erra jujur dan bangga.
                                                                                               


Post a Comment

0 Comments